Beranda | Artikel
Sifat Ibadurrahman (Bag. 4): Sikap Pertengahan dalam Membelanjakan Harta dan Menjauhi Dosa Besar
17 jam lalu

Bersikap pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak pelit

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqan: 67)

Termasuk sifat hamba-hamba Ar-Rahman adalah sikap pertengahan mereka dalam mengelola hartanya, tidak boros (berlebihan) dan tidak pula pelit (kikir). Karena mereka mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang telah diberikan-Nya itu kepada mereka. Sebagaimana disebutkan secara sahih dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Tidak akan bergeser (sedikit pun) dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya, kemana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya, untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 7300)

Adapun sikap mereka yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan hartanya itu dikarenakan mereka tidak suka menghambur-hamburkan hartanya melebihi batas yang telah Allah ‘Azza wa Jalla izinkan, baik untuk kebutuhan wajib mereka maupun yang dianjurkan. Sebaliknya, dalam berhemat pun; mereka justru bersemangat untuk membelanjakan hartanya pada sesuatu yang memang mereka butuhkan, yang mana dapat menunjang kehidupan mereka dan menjadi bekal tambahan serta penolong untuk kebaikan mereka di akhirat.

Dan ini yang diwajibkan bagi seorang muslim, hendaknya ia bersikap pertengahan dalam setiap urusannya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan, baik dalam perkara ini maupun perkara lainnya, baik dalam perkara agama maupun perkara dunia.

Dari Ka‘ab bin Farukh, dari Qatadah, dari Mutharrif bin ‘Abdullah, ia berkata,

خيرُ هذه الأمور أوساطُها، والحسنةُ بين السيئتين

“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan.”

Lalu aku bertanya kepada Qatadah,

ما الحسنةُ بين السيئتين؟

“Apa maksud kebaikan yang berada di antara dua keburukan itu?”

Maka, beliau menjawab (dengan mengutip firman Allah, QS. Al-Furqan : 67),

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 17: 500)

Menjauhi dosa-dosa besar dan maksiat

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ

“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)

Di antara sifat paling nampak dari hamba-hamba Ar-Rahman yang bertakwa adalah menjauhi dosa-dosa besar dan segala bentuk pelanggaran dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan dalam ayat ini tiga dosa besar, karena ketiganya merupakan dosa yang paling besar dan paling berat secara mutlak, yaitu: (1) syirik kepada Allah Ta’ala; (2) membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah); dan (3) berzina.

Adapun kesyirikan, maka hal ini berkaitan dengan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan ia adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Jalla wa ‘Ala bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih melakukannya (belum bertobat darinya), sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)

Apabila seorang hamba memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, seperti berdoa, meminta pertolongan, bernazar, menyembelih (kurban), dan lainnya, maka sungguh ia telah melakukan dosa paling besar yang membinasakan, dan kejahatan yang paling besar, yaitu syirik kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Adapun membunuh jiwa yang terjaga (tidak bersalah) adalah kejahatan yang sangat keji. Haknya berkaitan dengan pembunuh yang telah menzalimi dirinya dengan perbuatan ini, berkaitan pula dengan korban yang nyawanya dibunuh tanpa alasan yang benar, dan juga berkaitan dengan keluarga korban.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لزَوَالُ الدُّنيَا أَهوَنُ عَلَى اللهِ مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5078)

Adapun zina, ia adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya. Ia dapat membuat hati menjadi sakit dan rusak. Tidak hanya demikian, zina juga menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya maupun masyarakat, baik dalam hal keimanan, kesehatan fisik, kondisi jiwa, maupun kehidupan sosial.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ منه الإيمانُ وكان عليه كالظُّلَّة، فإذا انقطع رَجَعَ إليه الإيمانُ

“Apabila seorang laki-laki berzina, maka keluarlah iman darinya, dan iman itu berada di atasnya seperti awan. Jika ia berhenti (dari perbuatan zina itu), maka iman pun kembali kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 4690, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 509)

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kepada kita dari segala hal yang bisa mendekatkan pada perbuatan keji ini (zina) atau menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang seorang laki-laki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan mahramnya, melarang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian (parfum) agar baunya tercium para laki-laki, serta memerintahkan laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Semua aturan syariat ini adalah bentuk penjagaan Allah bagi hamba-hamba-Nya agar terhindar dari dosa besar ini. Larangan-larangan itu ada karena perbuatan zina itu sangat berbahaya dan membawa dampak yang sangat buruk.

Setelah Allah Jalla Jalaluh memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya menjauhi tiga dosa besar itu, Dia juga memperingatkan dalam bentuk ancaman bagi siapa pun yang tetap melakukan dosa-dosa tersebut berupa azab yang sangat keras dan berlipat ganda di neraka Jahanam –wal ‘iyadzubillah–. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَٰعَفْ لَهُ ٱلْعَذَابُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِۦ مُهَانًا

“Dan barangsiapa melakukan demikian (dosa-dosa besar itu), niscaya ia akan mendapat pembalasan atas dosanya tersebut, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 68–69)

Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ancaman yang keras itu tidak berlaku bagi seorang hamba yang segera bertobat dari dosa-dosa besar tersebut, kembali kepada Allah Jalla Jalaluh, dan tunduk patuh kepada-Nya supaya ia memperoleh ampunan dan pengampunan-Nya. Mereka juga memperbanyak amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala; sehingga Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya, dan Allah ganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan yang banyak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan-keburukan mereka itu diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)

[Bersambung]

Kembali ke bagian 3

***

Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 17-22.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109164-sifat-ibadurrahman-bag-4.html